Berkaryalah sebelum kesempatan itu hilang dari hidupmu

Pada Sebuah Kuil


sumber
AKU anak tunggal ibuku dan kami hidup berdua saja di rumah kayu dekat empang dan ia menyayangiku sebagaimana Tuhan mengistimewakan para nabi. Ibu bekerja mencuci baju di rumah dua tetangga kaya dan menambah penghasilannya dengan menjual nasi urap dan sate keong pada sore hari sehingga kami bisa hidup pas-pasan seperti kebanyakan tetangga kami. Setiap hari aku membaca buku-buku yang sulit dicerna dan sesekali menulis karangan atau mengarang lagu-lagu dan aku juga menyayangi ibuku seperti nabi kepada umatnya.

Kadang-kadang rezeki kami berlebih karena turunnya mukjizat di rumah kami. Aku ingat dua atau tiga kali ibu mendapati ikan-ikan di dalam baskom kecil di samping perigi saat ia bangun tidur, seolah-olah mereka berloncatan dari empang dan menyediakan diri untuk digoreng atau diolah dengan bumbu apa saja. Kami tidak pernah tahu siapa yang menaruhnya di sana. Mungkin Tuhan. Ibu memang rajin berdoa dan ia suka menceritakan kepadaku dongeng-dongeng menjelang kami tidur dan seperti itulah kami menjalani hidup bersama-sama. “Kalau kau sudah tua nanti, gantian aku yang akan bercerita untukmu,” kataku. Namun ibuku tidak pernah menjadi tua. Kami berpisah saat umurku dua puluh tiga tahun dan ia empat puluh lima. Aku bangun tidur pada suatu pagi hari dan ibu tidak bangun selamanya.

Pada malam terakhir sebelum ia pergi selama-lamanya, kami ribut sedikit tentang cerita pengantar tidur yang dibawakannya.

“Kemarin kau bercerita tentang cacing, minggu lalu kura-kura, sekarang lutung,” kataku.

“Yang kemarin itu cerita tentang orang suci,” katanya.

“Tentang cacing,” kataku. “Memang ada orang sucinya, sebab cacing itu menempel di perahu orang suci, tetapi itu tetap cerita tentang cacing.”

“Jangan suka meremehkan apa pun,” katanya.

“Aku tidak meremehkan apa pun,” kataku.

“Lalu apa keberatanmu?”

“Tidak ada. Cuma sekarang aku tak membutuhkan lagi cerita hewan dan kau terus bercerita tentang hewan.”

“Astaga, Dhani! Kenapa kau menjadi bebal?”

“Aku baik-baik saja, Ibu.”

“Kau menjadi bebal. Pasti iblis telah mengencingi kepalamu.”

Ia kemudian bicara panjang, dalam nada jengkel yang jarang muncul sebab ia sangat menyayangiku. Belakangan aku kurang suka terhadap caranya menyayangiku dan ucapan panjangnya malam itu membuatku kelelahan. Kalau ia mau sebetulnya ia bisa bicara ringkas saja: hikmah tentang kehidupan bisa didapatkan dari mana pun, bisa dari seekor marmut, atau anak ayam, atau lutung. “Kau ingat bahwa lutung-lutung itu dulunya adalah manusia dan mereka dikutuk menjadi gerombolan lutung karena tetap bekerja di hari Sabtu. Semua orang tahu itu,” katanya.

Aku membuat gerakan mengangguk dengan kepalaku di atas bantal dan ibu menganggap itu sebagai persetujuan. Maka, mulailah ia menyampaikan cerita tidak menarik tentang seekor lutung yang sedang duduk-duduk di bawah pohon belimbing menikmati apa saja yang ia bisa nikmati: angin lembut yang mengusap wajahnya, dengung lalat di kuping, dan ingatan samar-samar tentang leluhurnya, orang-orang yang pergi berburu di hari Sabtu pagi dan keluar dari hutan menjelang tengah malam dan tiba di rumah sebagai kawanan lutung.

Karena diawali dengan sedikit perdebatan, dan aku betul-betul ingin mendengarkan cerita tentang manusia, aku menjadi kurang bergairah mengikuti cerita ibu tentang lutung. Namun kelak terbukti bahwa dongeng yang ia sampaikan itu benar adanya. Beberapa tahun lalu, kurang lebih lima tahun setelah ibuku meninggal, sebuah tim beranggotakan tujuh arkeolog dari beberapa negara, dipimpin oleh ilmuwan Perancis Pierre Amélineau, mengumumkan temuan mengejutkan tentang adanya spesies lutung di pedalaman Kalimantan yang berukuran setinggi manusia, jauh lebih tinggi dibandingkan ukuran lutung setempat pada umumnya yang hanya 50-60 sentimeter. Di situs tempat ditemukannya fosil lutung tersebut, mereka juga berhasil mengumpulkan bukti-bukti arkeologis yang mereka nyatakan sebagai alat-alat berburu yang digunakan oleh masyarakat yang ditimpa kutukan.

Mungkin ibu tahu aku tak bergairah mengikuti ceritanya, atau mungkin ia tak tahu, tetapi kelihatannya ia tak peduli dan terus saja bercerita tentang lutung muda di bawah belimbing yang suatu saat pernah menempuh langkah yang lazim dilakukan oleh orang-orang zaman kuna, ialah masuk ke dalam gua dan mendekam 49 hari di sana dan menjalani laku yang berbelit-belit demi mengakhiri kutukan yang telah ditimpakan kepada leluhurnya pada hari Sabtu. Seorang lelaki sangat tua, yang tampak suci dan angker seperti berhala, muncul pada hari terakhir pertapaannya dan memberi tahu apa yang harus ia lakukan. Tempurung kepalanya cerah seketika. Ia berharap itu tadi Tuhan dan ia senang bahwa Tuhan sudah mau menurunkan wahyu lagi setelah berabad-abad membisu. Si tua lenyap saat ia membuka mata. “Terima kasih,” katanya kepada si tua yang tak ada.

Lalu, dengan gerak-gerik yang lamban dan saleh, ia menarik napas panjang, bangkit dari duduknya, dan melangkah meninggalkan gua, membawa pengetahuan dan teknik-teknik baru untuk mengakhiri kutukan. Namun, kautahu, jika seseorang ditakdirkan apes, nasib sial akan datang begitu saja kepadanya, dengan atau tanpa alasan, dan apa yang didapat melalui cara berbelit-belit kadang bisa hilang dalam waktu sekejap. Begitu pula dengan pengetahuan itu. Ia lenyap begitu saja dari tempurung kepala si lutung sebelum langkah ketujuh dari mulut gua. Ingatannya bekerja kurang baik dan ia yakin itu karena iblis diam-diam mengencingi kepalanya. Itu keyakinan yang ia peroleh tidak sengaja saat gerimis turun dan ia berteduh di teritis rumah orang dan telinganya menangkap suara seorang ibu dari dalam rumah itu kepada anaknya: “Kau bebal sekali, Dhani. Pasti iblis telah mengencingi kepalamu.”

Dunia segelap semula dan kutukan tetap ada di bahu sesiapa yang harus memikulnya. Dan iblis, kautahu, selalu berada satu tingkat di atas hewan-hewan dan manusia dan siap menyiramkan air kencingnya di kepalamu, membuat kerusakan di permukaan bumi maupun di kedalaman otakmu. Lamat-lamat si lutung mendengar suara, seperti kicau burung—mungkin kicau iblis: Pergilah ke kolam dan celupkan kepalamu di sana.

Ia diam beberapa waktu dan suara itu terdengar lagi. Kali ini ia benar-benar yakin itu kicau iblis, sebab hanya iblis yang bisa bersuara tanpa menampakkan wujudnya.

“Tidak usah,” katanya. “Apa perlunya aku mengikutimu?”

Kau akan menjadi bebal selamanya.

“Tidak apa-apa. Kau sudah mengencingiku dan itu takdirku. Aku akan ikhlas saja menjalaninya agar kautahu bahwa aku bukan bagian dari mereka yang mudah kaujerumuskan untuk melawan takdir.”

Kau tidak takut neraka?

“Tidak apa-apa kalaupun aku masuk neraka.”

Dan kepada mereka yang tidak mematuhiku, maka kukatakan: “Jadilah kalian lutung selamanya dan masuklah ke dalam neraka.”


AKU tertidur sebelum ibu rampung bercerita dan sampai sekarang aku tidak tahu ujung cerita itu. Aku bangun pada pagi hari, kautahu, dan ibu tidak pernah bangun selamanya.

Para tetangga datang tergopoh-gopoh oleh teriakanku dan mereka riuh sekali saat melihat ibu terbujur kaku di tempat tidur. Seseorang mencoba mengatupkan kedua mata ibu yang membelalak.  “Jangan disentuh-sentuh dulu,” kata seseorang lainnya. “Kau bisa masuk penjara kalau sidik jarimu ada di tubuh korban.”

Ia menduga ibu dibunuh orang dan aku meraung kian kencang mendengar kata-kata orang itu.

Polisi datang siang hari, melingkarkan pita kuning di sekeliling rumah kami, dan mengamati apa saja di dalam kamar tidur, seperti ingin menemukan nyawa ibuku di sela-sela kusen atau di kolong-kolong.  Pencarian mereka sia-sia. Rumah kami tetap seperti semula dan semua benda tetap berada di tempatnya—kecuali nyawa ibu. Mereka kemudian membawaku ke kantor polisi dan menanyaiku beberapa hal dan aku menjawab sebaik mungkin semua pertanyaan mereka. Selanjutnya mereka mengirimku ke rumah sakit jiwa.

Padahal aku sudah menjawab semua pertanyaan mereka dengan sikap sabar dan rasa kasih yang kupelajari seumur hidup dari ibuku, namun mereka membuat keputusan yang tidak masuk akal. Perhatikanlah bagaimana caraku menjawab mereka dan kau akan tahu betapa tidak adilnya keputusan mereka untuk membawaku ke rumah sakit jiwa.

“Kau tahu kenapa dibawa kemari?” tanya salah seorang dari mereka.

“Ya,” kataku.

“Kenapa?”

“Bapak ingin tahu di mana nyawa ibuku berada.”

“Kau diduga melakukan pembunuhan terhadap ibumu sendiri.”

“Aku menyayangi ibuku, Pak,” kataku. “Apakah Bapak tega membunuh orang tua Bapak sendiri jika Bapak menyayanginya?”

“Menurut catatan kami, kau sering melakukan tindakan-tindakan dalam keadaan tidur. Ada tetanggamu yang pernah melihatmu menjala ikan pada tengah malam. Ia menceritakan pengalamannya kepada kami. Ia bilang, ‘Saya menegurnya waktu itu tetapi ia tidak menjawab. Lalu saya pandangi ia lekat-lekat. Rupanya ia tidur.’ Setelah itu, katanya, kau masuk ke dalam rumah dan meneruskan tidur dan tidak pernah tahu bahwa kau sudah menjala ikan di empang.”

“Memang kadang-kadang aku menjala ikan di empang, tapi aku tidur di kamar tidurku bersama ibu. Belum pernah aku tidur di empang sambil menangkap ikan, Pak. Pasti tetanggaku keliru. Sebetulnya ada satu rahasia di rumah kami. Bapak mau tahu?”

Polisi itu memandangiku.

“Baiklah kusampaikan, tapi Bapak harus berjanji tidak akan menceritakannya kepada siapa pun. Bapak bisa memegang rahasia?”

Polisi itu memandangiku. Mungkin ia ragu apakah akan kuat atau tidak memegang rahasia.

“Yang dilihat tetanggaku itu sebenarnya Tuhan, Pak. Dia sedang menyamar sebagai aku. Bapak tahu Tuhan bisa menyamar sebagai siapa saja dan malam itu Dia menangkap ikan-ikan dan menaruhnya di samping perigi. Begitulah Dia menurunkan mukjizat kepada kami beberapa kali.”

“Jadi kau tidak merasa melakukan apa-apa tadi malam?” tanyanya.

“Aku tidur di samping ibuku. Kalaupun aku melakukan sesuatu, itu pasti hanya kejadian dalam mimpi,” kataku.

“Kau bermimpi?”

“Ya, mimpi yang baik.”

“Kau tidak tahu bahwa kau telah mencekik ibumu?”

“Sebaiknya Bapak segera membasuh kepala dengan air dan jangan bekerja di hari Sabtu.”

Aku tahu mereka keliru. Malam itu aku bermimpi menyembelih kambing dan semua orang tahu bahwa menyembelih kambing adalah perbuatan baik dan setiap perbuatan baik tetaplah baik kendati hanya dilakukan dalam mimpi. Jika mimpiku menyebabkan ibuku mati, maka ia akan mati dengan sayatan di batang lehernya. Namun ia tidak begitu. Ibu meninggal dengan mata membelalak dan lehernya utuh dan aku sedih kehilangan orang yang menyayangiku.


SEBENARNYA aku kurang senang ketika polisi mengirimku ke rumah sakit jiwa namun aku tidak menyampaikan keberatanku kepada mereka. Ibu mengatakan bahwa selalu ada hikmah di balik setiap kejadian dan aku menuruti nasihat ibuku dan itu membuat kepalaku tenang. Kuanggap saja mereka memasukkanku ke kuil. Di sana aku berlaku sebagai pendeta yang selalu khusyuk dan santun dan aku berdoa semoga ibuku juga bisa mendapatkan hikmah dari kejadian yang membuatnya meninggal. Di mana pun ia sekarang berada, aku yakin ia bisa mengambil hikmah atas kejadian itu, sebab ia sering mengingatkan aku tentang hikmah. Bagiku ia selalu orang baik, meskipun malam itu kami agak ribut tentang lutung. Aku tidak sakit hati kepadanya dan kupikir polisi membuat kesalahan karena menuduh aku telah mencekiknya.

Sampai kapan pun, aku akan tetap mengatakan bahwa malam itu aku hanya bermimpi menyembelih kambing dan itu perbuatan baik. Polisi harusnya tahu bahwa jika kau menyembelih seekor kambing, meski hanya dalam mimpi, maka hewan itu akan menyelamatkanmu dari api neraka.

Kepalaku pernah dikencingi iblis, kata ibu, dan aku menjadi bebal karenanya dan orang bebal adalah yang pertama kali masuk neraka. Sejujurnya aku tidak takut masuk neraka karena pasti akan ada banyak teman di sana. Sebuah penderitaan, kautahu, selalu akan terasa ringan jika ditanggung beramai-ramai oleh banyak orang. Meski demikian, kalau boleh memilih, aku lebih suka berada di surga dan bertemu lagi dengan ibu di sana. Pada saat itu, aku akan membuatnya senang dan memintanya melanjutkan cerita tentang lutung yang belum kuketahui ujungnya.

Jadi, baiklah kukatakan bahwa aku ingin masuk surga. Karena itu aku tidak mau menyakiti ibu. Aku melakukan apa-apa yang dinasihatkan oleh ibuku dan mengerjakan saran-saran yang kubaca dari buku panduan menjadi orang baik. Dan aku bermimpi menyembelih kambing, sebuah tindakan baik, sesuai dengan buku-buku panduan yang mengatakan bahwa apa pun yang kauimpikan niscaya kelak menjadi kenyataan. Menyembelih kambing adalah impian yang penting bagi keselamatan hidupku. Kelak binatang itu menjadi tunggangan yang mengantarku ke surga.

Di kuil, aku terus berdoa dan bermimpi mengerjakan hal-hal baik dan aku tahu bahwa para dokter di sini, sama halnya dengan polisi yang tak memahamiku, hanyalah orang-orang yang berlagak baik. Pada kenyataannya mereka mencibirku di belakang punggung. Pernah kudengar mereka menyampaikan kepada beberapa tamu yang datang kemari: “Ia terobsesi menjadi nabi.” Saat itu aku sedang melakukan tindakan mulia mengingatkan orang-orang di sekelilingku betapa berbahayanya air kencing iblis.

Tidak apa-apa mereka menganggapku kurang waras, itu akan menjadi pahala bagiku, dan aku mengampuni siapa pun yang menganggapku kurang waras. Bagaimanapun mereka hanyalah segerombol orang dengan kepala basah kuyup oleh air kencing iblis, sama seperti aku sebetulnya, namun aku sanggup menemukan hikmah dari setiap kejadian dan dari cerita-cerita yang dulu dituturkan oleh ibu. Mereka tidak seperti itu.

Mereka menjalani hidup yang sia-sia dan tidak pernah mampu memetik hikmah dari segala kejadian. Sekiranya ibu tidak datang menemuiku,  niscaya sudah kutinggalkan kuil ini dan kubiarkan saja mereka menempuh jalan sesat. Ibuku orang baik, kautahu, dan sekarang ia menjadi bidadari dan punya sayap di punggungnya seperti angsa. Aku sedang mengkili-kili kupingku dengan bulu ayam ketika ia datang. Dimintanya aku tetap tinggal di kuil menjaga mereka dan kubilang, “Baiklah!”

Sebelum pergi lagi ia menyarankan agar aku lekas ke kolam membasuh kepala.

“Tunggu sebentar,” kataku.

“Kenapa kau selalu membantahku?” katanya.

“Aku tidak membantahmu. Aku hanya bilang tunggu sebentar.”

“Jangan bebal, Dhani. Lekaslah ke kolam dan basuh kepalamu.”

Paras wajahnya berubah sedih. Aku tidak tega melihatnya bersedih. Ia bidadari yang baik dan sayapnya besar sekali dan aku sangat menyayanginya. Maka kukatakan sekali lagi, “Baiklah!” dan aku menuju ke kolam.

Di depan sana, seorang lelaki sangat tua sedang duduk di sebuah ayunan; jenggotnya panjang sekali dan umurnya mungkin seribu lebih. Mungkin ia Tuhan yang sedang beristirahat setelah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Aku berbelok menjauhi kolam dan mendekati lelaki itu dan menanyakan kepadanya apakah ia Tuhan. Ia terus bermain ayunan dan tidak memedulikanku. Mungkin ia bukan Tuhan.

Di sebelah sana lagi, aku melihat lelaki tua yang lain sedang duduk di bangku semen di bawah pohon; ia sedikit lebih tua ketimbang lelaki bukan Tuhan yang mendiamkanku. Kutaksir ia sudah ada sebelum Masehi. Aku mendekati lelaki di bangku semen itu dan semakin menjauhi kolam.

Dari samping kanan ia memancarkan kewibawaan seorang pencipta. Dari samping kiri ia tampak sedikit congkak dan seperti sudah duduk di bangku semen itu sejak hari pertama dunia diciptakan. Lalu aku memberanikan diri memandanginya dari depan, hanya sebentar, dan kemudian membalikkan tubuh membelakanginya. Pelan-pelan kubungkukkan badanku sampai mukaku berada di sela-sela kedua lututku. Dilihat dari depan dengan cara terbalik seperti itu, ia tampak lembut dan penyayang seperti seorang gembala yang sabar menunggui kembalinya para domba.

Pengujianku selesai. Kusampaikan kepadanya bahwa lelaki di ayunan sana itu mencoba menampilkan dirinya sebagai Tuhan, tetapi aku tidak percaya sebab di dunia ini hanya ada satu Tuhan. Maka, dengan penuh kerendahan hati aku mengajaknya bercakap-cakap. “Kami yakin padukalah orangnya,” kataku. “Lelaki tua di ayunan itu hanya seorang jompo yang sedang menyamar, tetapi padukalah kiranya yang pernah dua atau tiga kali menurunkan mukjizat ikan-ikan di rumah kami dan sekarang kami senang sekali bertemu dengan paduka dan kami ingin mendengarkan sesuatu dari mulut paduka.

“Maka, kami mohon paduka sudi menyampaikan kepada diri kami apa yang perlu disampaikan kepada orang-orang agar mereka terhindar dari iblis yang suka mengencingi kepala mereka.”

Orang tua itu tidak bergerak dan tidak menyampaikan apa-apa. Tetapi aku tahu ia Tuhan karena aku bisa mendengar perintahnya meskipun ia tidak membuka mulut. Ia memintaku memejamkan mata dan aku menuruti permintaanya. Dengan mata terpejam aku menerima tiga perintah darinya, sebagai pelengkap atas sepuluh perintah yang sudah pernah disampaikannya kepada orang zaman dulu.

Pada malam hari aku meneruskannya kepada seorang jurutulis kuil yang setia mendampingiku dan rajin mencatat ucapan-ucapanku. Ia juga orang yang tekun mengumpulkan semua cerita dan lagu yang pernah kukarang dan ia menyusun cerita ini dengan izinku. Kusampaikan kepadanya tiga perintah yang kuterima dan ia menjadi pengikutku yang pertama. Sekarang, kemana pun ia pergi, ia selalu memakai topi demi menghindarkan kepalanya dari air kencing iblis, dan ia selalu menghormati polisi karena Tuhan memerintahkan begitu, dan ia tidak pernah mencekik ibunya sendiri, baik di saat tidur maupun terjaga. []

Cerpen oleh: A.S. Laksana
*) Dimuat di Jawa Pos, Minggu, 9 November 2014
Tag : Cerpen
0 Komentar untuk "Pada Sebuah Kuil"

Sahabat, silakan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam Karya

Back To Top