Berkaryalah sebelum kesempatan itu hilang dari hidupmu

PANG RAOH

Cerpen Muhammad Subhan


SETELAH hari raya kurban selesai, Pang Raoh memutuskan pulang ke kampungnya. Malaysia ternyata tidak menjanjikan walau di masa negeri masih
bergejolak ia bersama kekasihnya memutuskan meninggalkan Aceh dan menikah di negeri jiran. Awalnya semua keindahan milik mereka berdua, tetapi ketika sudah menjalani kehidupan sebenarnya, pasangan suami-istri yang tak memeroleh anak itu mengibarkan bendera putih; kalah oleh beratnya ujian hidup yang diberikan Tuhan.

“Aku tak mau pulang ke Aceh, Bang,” ujar Nuraini, istri Pang Raoh yang ia nikahi di bawah tangan dan menjadi sahabat setianya di negeri jiran.

“Kita harus pulang jika tidak mau berurusan dengan polisi Diraja Malaysia,” jawab Pang Raoh.

Nuraini tak lagi menjawab. Kedua matanya menerawang menatap langit-langit rumah tumpangannya di sudut Kota Melaka. Rumah itu milik seorang pedagang asal Aceh yang menampung suami-istri itu. Kalau bukan sesama orang Aceh, entah bagaimana nasib mereka.

Ketika pergi meninggalkan Aceh, Pang Raoh dan Nuraini menumpang tongkang pembawa pasir yang melintasi Selat Melaka. Hampir saja tongkang yang membawa tubuh dan nasib mereka tenggelam karam karena gelombang pasang yang ganas di perairan itu. Tetapi Tuhan masih bermurah hati, mereka selamat hingga ke daratan. 

Di suatu malam menjelang pagi, sampailah mereka di bibir pantai, di sebuah perkampungan nelayan yang sepi, negeri jiran. Di sana, keduanya diselamatkan penyalur TKI ilegal yang menjanjikan pekerjaan dengan upah besar. Tetapi janji tinggal janji, Pang Raoh dan istri yang dia kawini itu terlantar di negeri orang karena tak punya kerja tetap. Untuk bertahan hidup, Pang Raoh menjadi buruh kasar dengan upah yang sangat kecil, sementara Nuraini menjadi buruh cuci di rumah orang Melayu yang baik hati.

“Aku teringat bapak, Nur. Aku rindu sekali. Kita pergi tanpa izin bapak,” ujar Pang Raoh kemudian. Tampak di kedua kelopak matanya air panas bergantung. Itu pertama kali Nuraini melihat suaminya, Pang Raoh, yang bertubuh kekar dan berkulit hitam itu menangis.

Nuraini semakin tak dapat menjawab. Dia pun menangis, teringat segala kejadian yang telah mereka perbuat dan membuat aib di kampungnya.

Pang Raoh adalah anak angkat bapak, ayah Nuraini. Perang telah memisahkan kasih orangtua dan anak. Kedua orangtua Pang Raoh meninggal dunia. Ayahnya dituduh aparat sebagai pemberontak dan mengalami penyiksaan. Ibunya menderita sakit menahun lalu wafat menyusul sang suami. Ketika itu Pang Raoh masih berusia 10 tahun dan tak lagi bersekolah.

Bapak, ayah Nuraini, serang guru mengaji di kampungnya. Bapak seorang yang baik hati. Bapak menyelamatkan hidup Pang Raoh. Pang Raoh diangkat menjadi anaknya sendiri. Tinggal serumah, hidup dan besar dalam didikan bapak. Sementara ibu Nuraini telah lama tiada.

Nuraini adalah satu-satunya putri bapak yang seusia Pang Raoh. Bulan berganti tahun, keduanya berkembang layaknya remaja lain di kampung itu. Pang Raoh semakin tumbuh menjadi pemuda gagah yang tampan. Nuraini juga tumbuh menjadi gadis cantik yang diidamkan banyak pemuda kampung. Hingga di suatu hari, bapak sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Pang Raoh sadar bahwa ia harus merawat dan menjaga bapak. Dialah yang menemani bapak di rumah sakit, siang dan malam. Mengantarkan makanan yang dimasak Nuraini di rumah, membawanya ke rumah sakit.

Di saat itulah peristiwa naas terjadi. Pang Raoh dan Nuraini yang setiap hari bertemu dan berdua di rumah tanpa ada orang lain, lambat-laun menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka. Nuraini yang sedang mekar, Pang Raoh yang sedang puber. Tetapi keduanya tahu diuntung, tidak berani berbuat macam-macam selain bertemu pandang. Tetapi setan selalu membisik, menggoda keduanya untuk menurutkan hawa nafsu.

Untunglah, didikan bapak membuat kedua remaja itu masih berada di garis batas kewajaran. Sampai di suatu hari, ketika Pang Raoh pulang dari mengantar makanan bapak, ketika ia sedang di rumah bersama Nuraini, datang sekelompok pemuda kampung yang tiba-tiba masuk rumah dan memukuli Pang Raoh. Nuraini terpekik dan menjerit ketakutan. Kedua remaja itu tidak tahu kenapa tiba-tiba para pemuda mengamuk dan menghakimi Pang Raoh.

“Kau anak haram jadah!”

“Tak tahu diuntung!”

“Kau hendak membuat aib di kampung ini!”

“Kita bawa dia ke Polisi Syariah!”

Tak ada perlawanan dari Pang Raoh. Tubuhnya babak belur. Pemuda-pemuda itu menuduhnya telah melakukan perbuatan mesum dengan Nuraini, berdua-duaan di dalam rumah. Sekeras apa pun pembelaannya dan pembelaan Nuraini bahwa mereka tidak ada berbuat apa-apa, Pang Raoh tetap menjadi tersangka.

Hukum memutuskan Pang Raoh dan Nuraini berkhalwat tanpa muhrim. Pang Raoh dirajam, Nuraini juga. Kedua anak Adam itu pingsan dengan tubuh memar bekas cambukan. Tetapi Tuhan masih memberikan nyawa untuk keduanya. Selepas menerima hukuman, Pang Raoh dan Nuraini dipisahkan.

Setelah bapak sembuh dari sakitnya, Pang Raoh tidak pernah lagi menampakkan rupa di rumah yang telah membesarkan dirinya, dalam didikan bapak. Tetapi cintanya kepada Nuraini telah tumbuh, berurat-berakar dan membuatnya nekat untuk melarikan gadis itu.

“Aku mencintaimu, Nur.”

“Aku tak tega meninggalkan bapak, Bang.”

“Tuhan akan menjaga bapak.”

Malam itu, menumpangi sebuah truk kampas jurusan Medan dengan bayaran sejumlah uang, kedua remaja itu meninggalkan kampung halaman, terus ke Belawan, berlayar dengan tongkang, hingga akhirnya mereka sampai di negeri jiran.

“Kita dikutuk bapak, bang.”

“Kutukan adalah keniscayaan yang harus kita hadapi, Nur.”

“Hidup kita tidak direstui, sampai nasib kita seperti ini.”

Pang Raoh tak menjawab lagi. Malam itu mereka terlelap dengan mimpi buruk, bapak sedang sakaratul maut.

Dan, sepekan kemudian sehabis hari raya kurban, suami-istri itu benar-benar memutuskan pulang, meninggalkan negeri jiran. Membelah ganasnya selat Melaka, menumpang tongkang di malam gelap buta. 

Pelayaran mencekam itu di bawah awasan malaikat maut. Pang Raoh dan Nuraini telah pasrah. Kepulangannya adalah pertobatan untuk menghapus segala dosa yang telah mereka perbuat. Dosa kepada bapak. Dan, sebelum sampai ke pintu rumah bapak, laut telah lebih dahulu menerima pertobatan mereka.

Sehari setelah itu, sebuah surat kabar di Medan, menulis berita kecil di pojok halaman belakang; “Sebuah Tongkang Tenggelam di Selat Melaka”. []

Muhammad Subhan berdarah Aceh-Minang. Lahir di Medan, 3 Desember 1980. Novelnya berjudul Rinai Kabut Singgalang (2011). Bergiat di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Selain menulis cerpen juga menulis puisi yang termuat dalam sejumlah antologi, antara lain Lautan Sajadah (2009), Ponari for President (2009), Musibah Gempa Padang (2009), G30S: Gempa Padang (2009), Menyirat Cinta Haqiqi (2012), Bukittinggi, Ambo di Siko (2013).Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang, Sumatera Barat. 

DITERBITKAN DI:
KORAN HARIAN “KALTIM POST” EDISI MINGGU, 22 DESEMBER 2013, HALAMAN FILM & CERPEN

Tag : Cerpen
0 Komentar untuk "PANG RAOH"

Sahabat, silakan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam Karya

Back To Top