Artikel ini ditulis oleh CEO DivaPress bapak Edi AH Iyubenu. Mengapa saya cantumkan dalam blog ini, karena artikel ini penting untuk dibaca dan semoga pembaca yang lain juga bisa mengambil kesimpulan dari artikel ini.
Sumber Gambar |
Kristeva sungguh telah mengingatkan
saya bahwa merunyaknya individu-individu subjektif yang menyajikan
penerjemahan-penafsiran semiotik atas teks apa pun, termasuk ayat-ayat suci,
dengan sendirinya mengisbatkan keriuhan kontradiksi-kontradiksi. Keriuhan yang
kian berisik lantaran level persinggungan semiotik (permukaan seperti bunyi,
rima, hingga definisi, etimologi, dan kultur) dengan simbolisnya (esensi, moral-ethic,
hakikat) kerap tereduksi akibat kerja-kerja individu itu terpenjara oleh
melankolia-melankolia.
Ah, mari bikin lebih santai saja.
“Yang melankolis menandakan belum
memasuki yang simbolis,” ucap Kristeva lagi. Benar, manusia memang makhluk
melankolis, ya. Rasa cinta-benci, nilai baik-buruk, parameter benar-salah,
seluruhnya merupakan ekspresi-ekspresi melankolis yang menyatu-biru dalam
subjektivitas setiap kita, termasuk Iqbal Aji Daryono (IAD).
Sebagai subjek bernalar
metodis-ilmiah, sudah pasti IAD tidak main-main dengan kritiknya tempo hari di Mojok.co pada Ustadz Yusuf Mansur (UYM)
(idealnya, esai ini tayang di Mojok.co, tapi apalah arti saya di hadapan
ketampanan Kak Bana yang menolak memuatnya…). Negasi nalar, akibat memuja
suprarasional, begitu inti dakuan IAD, dalam pelajaran sedekah UYM, memantik
anomali orientasi dan reduksi spiritualitas: berburu balasan sedekah yang
dijanjikan berlipat-lipat puluhan dan bahkan ratusan kali. Penuh pamrih.
Benarkah ajaran UYM fakir nalar akibat dicandu
suprarasional-spiritual? Saya ingin mengajak IAD membaca ayat-ayat sedekah di
surat al-Baqarah ayat 261-264 itu secara simbolis ala Kristeva.
Kita harus mulai dengan cara memilah
secara tegas apa yang semiotik (sebutlah syariat) dengan apa yang simbolis
(sebutlah hakikat) dari ayat-ayat itu. Di ayat 261, semiotiknya berinti pada: “Sedekahlah
1, akan dibalas 700 kali lipatnya, bahkan lebih.” Orang-orang muslim awam
pun tersugesti untuk bersedekah dengan membabi-buta, begitu kritik IAD. Dan ini
akibat ulah UYM yang membiakkan sugesti dengan berderet kisah nyata mereka yang
menjadi kaya raya berkat sedekah. Opik yang pernah menjual rumahnya seharga 800
juta, lalu disedekahkan semua, menjadi satu contoh yang secara langsung pernah
disugestikan UYM kepada saya di suatu maghrib di Masjidil Haram. Saya pun tersugesti;
tapi maaf, izinkan saya mengatakan “saya tersugesti bukan karena saya awam”.
Saya menjadi tidak awam digerus kisah sugesti itu lantaran
saya memaklumi kisah (juga ayat 261) itu sebagai “motivasi syariat”. Anda pasti
sepaham, anak-anak kecil yang minim nalar akan bersemangat sekali bila
dijanjikan hadiah mentereng jika lulus ujian. Mereka akan belajar keras-keras
demi lulus ujian, demi hadiah itu.
Tuhan mengambil sikap simbolis demikian di ayat 261 dengan
melancarkan “syariat iming-iming” itu. Mengambil posisi bak orang tua kepada
anak-anaknya yang lugu. Ini lho semiotiknya, ini lho hadiahnya, makanya sedekah
sajalah dulu. Iya, lakukan saja dulu. Tentu, di sini sesak jubelan melankolia
bernama pamrih. Tentu, dalam paham Kristeva, yang simbolis tidak hadir di sini.
Tetapi ini hanya kursi syariat. Di atasnya, ada lho kursi
yang lebih elok lagi. IAD pasti sepaham di sini; jika saya berdiam di kursi
syariat yang semiotiknya melankolia iming-iming, maka saya takkan pernah tiba
ke kursi simbolis yang maha elok itu; yang tak lagi terbebat melankolia
iming-iming.
Di ayat 262 dan 263, Tuhan membabat
melankolia iming-iming itu dengan menyorongkan kursi hakikat. Simbolisnya ada
pada lafazh “manna” (riya, pamer) dan “adza” (merendahkan
penerima). Satu sisi (“manna”), Ia mengedukasi pelaku sedekah untuk down
to earth, tidak ujub, pamer, di sisi lain (“adza”), Ia mengedukasi
untuk melangitkan penerima sedekah. Bayangkan, pemberi dihunjamkan ke bumi;
penerima diterbangkan ke langit. Ada simbolis berupa etika yang luar biasa di
sini. Jika memakai istilah Fritjof Capra di sini, ayat 262-263 ini mendorong
pelaku sedekah untuk menjunjung “organisme proses”: bahwa manusia merupakan
organisme yang sangat mempedulikan proses. Iya, memuliakan “proses memberi”
(anti adza) dan menyimpan rapat “proses berbangga diri” (anti manna).
Simbolis kursi hakikat ini diteguhkan lagi lewat ayat 264:
orang yang bersedekah dengan riya’ dan menyakiti penerimanya, laksana batu
licin yang di atasnya ada debu-debu lalu turunlah hujan sehingga enyahlah
debu-debu itu dan yang tersisa hanyalah batu licin itu lagi.
“Manna” dan “adza”
adalah simbolis hakikat yang melampaui semiotika syariat. Bahwa ada sekelompok
orang bersedekah dengan melankolia syariat sehingga terus mengharap balasan 700
kali lipat, mereka tidak perlu dipersalahkan; sebab mereka baru anak kecil,
penjunjung melankolis, pemegang semiotik. Maklumi saja, jangan dibunuh, namanya
juga anak kecil.
Bukankah IAD pasti tahu bahwa
peranjakan-peranjakan kursi ini lazim belaka terjadi dalam mekanisme “organisme
proses” yang kebak kontradiksi? Bukanlah, sebaliknya, membasmi “organisme
proses” peranjakan ini, dari syariat ke hakikat, dari semiotik ke simbolis,
dari melankolis ke thetic, hanya akan menjatuhkan kita pada jurang
modernisme yang memuja berhala mesin-mesin yang beku, kaku, dan dingin?
Syariat adalah satu level; hakikat adalah level berikutnya.
Keduanya mesti dilihat-sinergikan secara hierarki; bukan campur-aduk bagai
gado-gado Bu Ramelan. Orang yang baru kenal syariat, tidaklah tepat untuk
dipaksa menelan hakikat. Anak yang masih ABG tidaklah patut dipaksa membaca
cinta dari sudut pandang ayah dan ibu Hayun. Pencampuradukan hierarki ini akan
merompalkan “organisme proses” itu; sebab muhallah mendamba pesedekah yang baru
melangkah setatih syariat untuk tidak bermelankolia pada balasan 700 kali lipat
itu.
IAD tentu sepaham betapa Tuhan
sungguh Maha Pengertian: Ia selalu mengerti siapa kamu, siapa saya, sehingga
disediakan-Nya kursi-kursi hierarki untuk diduduki sesuai maqam “organisme
proses”-nya; semiotik atau simbolis (syariat atau hakikat).
Dengan sudut pandang demikian, UYM
saya kira tidak perlu diolok-olok karena mengajarkan melankolia-melankolia itu;
toh pada gilirannya, para melankolis (penggenggam ayat 261) niscaya akan
memasuki dunia simbolisnya (penggenggam ayat 262-264); para ABG pada gilirannya
akan menjadi para orang tua. Ibarat guru, UYM hanya berposisi memikat
murid-muridnya dengan mengajarkan rumus-rumus matematika 1 = 700; untuk
langsung action ala ayat 261 saja; selanjutnya tentu menjadi
tugas murid-murid sendirilah untuk memasuki “organisme proses”-nya.
Mas Iqbal, kalau udah balik Jogja, ngopi lagi, yuk, di Black
Canyon….
Jogja, 24 Agustus 2015
Sumber : http://basabasi.co/pelajaran-sedekah-ustadz-yusuf-mansur-dan-iqbal-aji-daryono/#disqus_thread
Tag :
Dakwah
0 Komentar untuk "Pelajaran Sedekah Ustadz Yusuf MansyurIqbal Aji Daryono (Kritik Wacana Sedekah ala Julia Kristeva)"
Sahabat, silakan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam Karya