Madrasah Lumut"
Ilustrasi Gambar |
Ketika kukayuh langkah menuju peristirahatan terakhirmu,
kurasakan teduh matamu menikamku. Aku tak sanggup menepis bayangmu yang hadir
bersama tumpukan kenangan. Ada suara-suara yang ngiang di selaput gendang:
gemuruh amin kala kau mendoakan kami; riuh tanya-jawab di lokal; keprihatinanmu
terhadap masyarakat di sekitar madrasah yang sampai waktu itu belum juga bisa
menikmati air bersih. Tentang abang-abang becak di pasar kecil yang rela
berkeringat sepanjang musim demi menyuapi keluarga, juga tentang kami yang
harus berhadapan dengan hiruk-pikuk kemajuan yang mendangkalkan iman. Pun, tak
akan kulupakan, Habib, nasihatmu tentang kediaman terakhirmu: ?Bila aku
dipanggil-Nya, makamku adalah sepetak tanah di belakang madrasah. Agar nanti,
ketika kalian sudah kembali ke alamat masing-masing, dan aku berdiam di lahat,
kalian dapat datang, melepas (mungkin) selaksa rindu di depan nisan dan
mengirim doa-doa?? **** Sekali lagi kukeluhkan: banyak hal yang terjadi di luar
kira-kira, Habib.
Tak lama setelah aku tamat dan kembali ke kampung kelahiranku,
kudengar kau dipenjara atas tuduhan terlibat dalam aksi teror yang dapat
mengganggu stabilitas keamanan negara. Aku ngilu mendengarnya. Kalau saja waktu
itu aku tidak sedang terikat kontrak dinas di tempat aku bekerja, aku pasti
datang menjengukmu. Setidaknya aku dapat menemanimu menanggung tuduhan itu.
Tapi, jarak, waktu, juga ikatan-ikatan keduniaan telah mempersempit pertemuan
kita. Sampai akhirnya, kabar paling ngilu kudengar, kau dipangggil-Nya untuk
sebuah janji. Kau dikabarkan menderita gangguan jantung karena tuduhan itu.
Sungguh ngilu mendengarnya. Bertahun pula kemudian, aku belum juga dapat
menjengukmu. Sementara ngilu yang bergelantungan di pucuk hatiku terus
menumpuk. Maafkan aku, Habib. Akulah murid paling malang, murid yang telah diikat
dunia, tak mampu memilih satu dari sekian pilihan. Kesempatan menjengukmu dalam
ritual ziarah terasa dingin, sebab baru kuperoleh bertahun-tahun sejak kau
meninggalkan hiruk-pikuk ini. Mudah-mudahan tidak ada yang sia-sia, Habib.
Seperti harapanmu padaku waktu pertama kali menginjakkan kaki di madrasah ini.
Aku yang waktu itu datang sendiri tidak diterima panitia penerimaan santri baru
di madrasahmu lantaran tidak datang bersama orang tua. Aku diminta langsung
menghadapmu. Di hadapanmu, aku menggigil. ?Ananda, kenapa ke sini tanpa orang
tua?? ?Ayahku sudah tiada, ibuku lumpuh. Aku ke sini sendiri, Ustadz?..?
?Sssstt?Jangan panggil aku ustadz. Panggil aku Habib. Kamu tahu arti habib??
Aku menggeleng. Lugu. ?Habib berarti kekasih. Panggillah setiap orang
?kekasih?, Nanda, sekalipun hati dan pikiranmu berkata lain. Lalu, tersenyumlah
pada seluruh mata yang memandangmu. Karena bibir diberikan-Nya sebagai ladang
bagi kita, tempat bertanam senyum dan zikir. Hidup mesti berlaba. Senyum
termasuk laba yang harus dibagi-bagi. Sedang zikir, laba untuk dibawa mati.
Tidak boleh ada kesia-siaan. Kau kunyah-kunyah dulu apa yang kukatakan. Kalau
manis jangan ditelan. Jika pahit jangan dimuntahkan,? Aku kembali
mengangguk-angguk. Mengunyah-ngunyah ucapanmu.
Dan aku yakin bahwa pilihanku
bukan sesuatu yang gagah-gagahan. Lalu (dalam keluguan seorang lelaki 13 tahun)
kuceritakan padamu rintangan yang kulalui sebelum berangkat ke madrasah. Dalam
tangis yang ditahan-tahan, kukisah padamu perihal pamanku yang keberatan dengan
pilihanku. ?Mengapa madrasah itu yang kau pilih?? cetus Paman. ?Setahun saja di
sana kepalamu bisa gundul dan sekujur tubuhmu kudisan. Paman tidak setuju
dengan sistim pemondokannya. Pengaruh psikologis terhadap anak didik yang
dibaurkan sesama jenis kelamin dalam satu asrama sangat tidak baik. Paman
sering mendengar, di asrama madrasah itu sering terjadi prilaku seks
menyimpang: lesbian, homoseks! Menurut paman, madrasah yang kau pilih itu
adalah bentuk lain dari penjara. Belum lagi kebersihannya.
Aduh! Banyak santri
yang terpaksa dirawat di rumah sakit karena terjangkit penyakit kulit,
muntaber. Gangguan pencernaan! Kau paham maksud Paman? Konkritnya begini: kalau
pilihanmu sudah final, maaf, Paman tidak bisa membantu soal biayanya. Tapi
kalau selain madrasah, Paman sedia mendanai sekolahmu sampai ke tingkat yang
lebih tinggi?.? Pamanku seorang pemimpin di sebuah instansi pemerintah. Karena
itu?mungkin?dalam memberi petuah atau instruksi selalu dengan bahasa yang
tegas. Aku, anak tanpa bapak ini, tentu tidak akan membantah bila Paman sedang
berpetuah. Ya, bagaimana lagi. Sudah tiga tahun, sejak Bapak tiada, biaya
sehari-hariku dan dua orang kakakku ada dalam jaminan Paman. Sementara Bunda,
tinggal jasad lemah akibat stroke yang ia derita.
Setahun sejak Bapak
berpulang, Bunda sering menggigil hingga tak sadarkan diri. Sampai suatu
ketika, Bunda tidak dapat lagi berkata-kata. Separo tubuhnya lumpuh. Lidahnya
kelu. Bila ingin meminta sesuatu; mengatakan sesuatu; hanya dengan isyarat.
Dalam kondisi seperti itu, paman, adik mendiang bapak satu-satunya datang
dengan niat yang mulia: membiayai pendidikan kami bertiga. Alhamdulillah,
pikiranku yang nyaris dikuasai putus asa perlahan-lahan cerah. Aku pun kembali
dapat merancang cita-cita. Ketika Paman datang menyampaikan keberatannya atas
pilihanku ingin sekolah di sebuah madrasah, haruskah aku memaksakan diri? Tentu
tidak, Habib. Aku hanya menunduk, menekuri denyut di dada kiri. Ada peperangan
di sana. Saat menengadahkan kepala, kulihat Bunda saat itu menggerak-gerakkan
tangannya yang lumpuh. Bunda seperti ingin memelukku. Dan matanya, masya Allah,
menyulut semangatku. Aku tahu Bunda mengubur tangisnya dalam-dalam. Ia kuyakini
tengah mendukungku, memberi pembelaan terhadap pilihanku dengan caranya
sendiri. Sebentar kemudian Bunda mengisyaratakan agar aku mengikutinya ke dalam
kamarnya.
Di dalam kamarnya yang lusuh, bunda menyodorkan sebuah tas mungil
yang di kulit luarnya tertulis: Toko Mas Murni. Saat kubuka, sebuah kalung emas
beserta surat-surat jual belinya ada dalam kantong tas mungil itu. Aku mengerti
maksud Ibu. Maka, esoknya, setelah menjual kalung emas itu aku berangkat ke
madrasah yang sudah lama menjadi bunga-bunga dalam mimpiku. Aku tak peduli
meski menurut paman, madrasah itu hanya akan membuat kepalaku gundul dan
sekujur tubuhku kudisan. *** Bukankah begitu, Habib? Aku kau keterima sebagai
murid tanpa harus bayar ini, bayar itu. Cuma ada satu syarat: aku harus
bermusuhan dengan segala yang sia-sia. ?Para pencari ilmu,? ucapmu di hadapan
seluruh murid baru kala itu, ?adalah orang-orang yang dirindukan Rasulullah.
Beliau sangat bangga dengan umatnya yang tak mengenal kata selesai dalam
menuntut ilmu, dari buaian hingga ke lahat.
Dari Arab hingga ke Cina?sebuah
jarak yang jauh. Artinya, ke daerah dengan kultur dan agama yang berbeda pun
kita dianjurkan mencari ilmu. Maka mulailah membangun cita-cita kalian dari
sini. Jangan bercerai-berai meski kalian berasal dari daerah yang berbeda. Jaga
kesatuan hati kalian. Seperti yang sering aku sampaikan pada siapa saja: panggillah
setiap orang kekasih. Hidup tanpa kekasih apalah artinya. Sebaliknya, betapa
bahagianya, jika semua orang adalah kekasih. Kiranya kalian menangkap rahasia
hidup yang satu ini! Jangan kalah oleh kengkeng Pak Munir. Suatu kali kengkeng
Pak Munir, pemilik kedai kelontong di depan madrasah kita ini, mengejarku
karena melihat aku membawa tas jinjingan berisi ikan.
Aku cemas, kengkeng itu
terlihat buas ingin menggigitku. Dalam kecemasan itu muncul akal untuk melempar
satu ikan ke hadapannya. Kengkeng itu tiba-tiba menangkap ikan itu dan
tiba-tiba saja tampak jinak terhadapku. Sejak itu, setiap kali berpapasan
denganku, kengkeng itu selalu mengibaskan ekornya, tanda kesetiaan, tanda
kepatuhan, persahabatan, dan terima kasihnya. Tapi, kengkeng itu dibeli oleh
orang luar kota. Bertahun antaranya, kengkeng itu tak pernah lagi kutemukan.
Sampai suatu kali, aku berkunjung ke sebuah perkampungan terpencil guna
memenuhi undangan pengajian, aku terpekik di depan sebuah rumah. Seekor
kengkeng tua dan kurapan, menghadangku. Aku mengira akan digigitnya. Tapi
kengkeng itu kelihatan jinak. Ia melompat-lompat girang. Kuperhatikan dengan
teliti. Ternyata kengkeng tua dan kurapan itu tak lain adalah kengkeng Pak
Munir yang bertahun-tahun tak pernah bertemu denganku. Itu kengkeng, bagaimana
dengan kita?? Begitu selalu. Di waktu senggang, biasanya selepas shalat subuh
berjamaah, kau sengaja mengumpulkan kami dan bercerita tentang apa saja yang
sampai kini menjadi simpanan abadi dalam hatiku.
Lantas apakah aku harus
percaya bahwa dirimu terlibat aksi teror yang mengganggu stabilitas keamanan
negara yang belakangan menggejala? Sulit bagiku untuk percaya, Habib. Sedikit
bayaknya, aku juga mengerti seputar wacana stabilitas keamanan itu. ***
Sungguh, Habib. Ketika jarak, waktu, serta ikatan-ikatan keduniaan mampu
kuretas dan aku lesa mengunjungi makammu dalam ritual ziarah, aku tiada mengira
kalau yang berwarna hijau di pilar gerbangnya itu adalah lumut-lumut licin yang
menggelincirkan siapa saja yang berjalan di atasnya. Dalam pikiranku, madrasah
itu tengah berganti cat. Tapi pikirankukah yang keliru atau kenyataan yang kian
tak menentu? Ziarahku tiba-tiba dingin. Langit yang mengatapi simpuhku mendadak
kelabu.
Memang tak ada hujan yang turun. Tapi bayang-bayang gelap yang menghampiriku
telah mengguncangkan segenap akal sehat yang kupunya. Aku mengigil. Saat
membuka mata, aku saksikan lumut bergumpal-gumpal mengahadangku. Aku serasa
melihat gemulung awan ditiup badai yang datang dari berbagai arah. Lumut-lumut
itu hendak membungkus madrasah, Habib. Pertama-tama, lumut-lumut menjalari
gerbang madrasah. Perlahan dinding madrasah pun dibalutnya hingga menghijau.
Kemudian, lumut-lumut terus menjalar sampai ke hadapanku, merangkak dan
meliputi sekujur tubuhku yang gigil. Kukedip-kedipkan mata. Orang-orang yang
entah sejak kapan berkerumun di sekelilingku tampak hijau dan kaku terbalut
lumut. Mereka mungkin para guru dan santri masdrasah yang terkejut melihat
kedatanganku. Aku belum sempat mengenali apa sebenarnya yang terjadi, ketika
beberapa pemuda bertubuh kekar menangkap patahan lenganku lalu melipatnya ke
belakang punggungku dengan apitan borgol. ?Anda kami tangkap! Anda terbukti
bersekongkol dengan kelompok Habib Fununi Karim,? ucap salah seorang yang
membelengguku. Aku masih kewalahan mengenali apa yang sebenarnya terjadi.
Orang-orang yang menangkapku ternyata memakai pakaian dan atribut yang sama
denganku tapi mengapa ia berlaku begitu kasar? Dari bisik-bisik yang kudengar,
aku coba juga mereka-reka keadaan yang sebenarnya. ?Aneh. Ada ?aparat?
menangkap ?aparat?,? celetuk seseorang, mungkin salah seorang dari para santri
yang sudah memenuhi halaman madrasah. Mereka (tentu) sangat terkejut melihat
penangkapanku di depan makam Habib Fununi Karim, guru kebanggaan mereka yang
telah tiada. ?Sssst. Jangan asal bicara!? sapa suara yang lain, ?Yang ditangkap
itu salah seorang alumni kita,? suara itu terdengar dewasa. Kukedipkan-kedipkan
lagi mataku. Air yang memenuhinya terus meleleh. Sampai di atas mobil yang
membawaku menjauh, pandanganku belum juga jernih. Dari kejauhan, (masih di luar
kira-kira, Habib), lumut yang terus bergulung-gulung telah membungkus sekujur
madrasah kita. Tak satu pun celah tersisa.
Cerpen yang menurut saya menarik, menginspirasi,
mengharukan, dan semoga kita diberikan langkah yang benar yang sesuai tata
aturan yang dituliskan Oleh-Nya. Amiin
Baca Juga Cerpen Joni Ariadinata
Tag :
Cerpen
0 Komentar untuk "Cerpen Renungan "Madrasah Lumut""
Sahabat, silakan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam Karya