Berkaryalah sebelum kesempatan itu hilang dari hidupmu

PERIHAL BID’AH: BANTAHAN NAQLI DAN AQLI ATAS SIKAP ANTI BID’AH YANG BERLEBIHAN

Dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. Muslim [867]).
Inilah hadits shahih yang selalu dijadikan “senjata” untuk menolak segala amaliah yang tidak ada di masa Rasulullah saw. dengan serentak menyebutnya bid’ah, sesat, karenanya harus ditinggalkan, agar tidak terklaim “ahlun nar”. Tak peduli sebaik apa pun nilai bid’ah itu secara ruhani-spiritual  dan manfaatnya secara sosial.
Jika Anda berhenti di sini, jelas segala bid’ah tertabalkan sesat dan harus dijauhi karenanya. Tetapi mari ketahui bahwa ada berjubel “hadits khusus” yang pula shahih serta praktik dari para sahabat terdekat Rasulullah saw. yang bersifat bid’ah dan tentu tidak sesat dan karenanya tidak lagi relevan serentak diklaim “ahlun nar”. Masak ada yang berani menyebut Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Mu’adz bin Jabal sebagai sesat dan ahlun nar?
Melalui hadits tersebut Rasulullah saw. menerangkan bid’ah secara mujmal(global). Hal-hal yang global tentu saja tak mungkin membicarakan detail, dan pula mustahil “menggampangkan” perkara yang sifatnya ‘ubudiyah. Sudah pasti hadits itu menyerukan “ajaran pertama” yang ketat. Ini hal yang logis belaka.
Tetapi ketahuilah bahwa hadits global tersebut telah mendapatkan takhshish-nya (uraian detailnya, pengkhususan yang sekaligus berfungsi pembatasan jangkauannya) melalui banyak hadits lain (yang sayangnya jarang sekali dibaca berbarengan oleh khatib atau ustdaz sehingga khayalak cenderung hanya tahunya hadits keharaman bid’ah itu).
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Melalui hadits shahih ini, Rasulullah saw. mengajarkan bahwa “memulai perbuatan baik dalam Islam” mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengamalkannya kemudian. Redaksi “memulai perbuatan baik dalam Islam” jelas adalah perkara bid’ah (dalam artian tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.) tetapi dibenarkannya.
Atas dasar hadits ini, wajar bila banyak ulama salaf, sebutlah Imam al-Nawawi menyatakan bahwa hadits kedua ini “mendetailkan” penjelasan atas hadits pertama, membatasi makna globalnya dalam tataran praksis menjadi “perbuatan baik dalam Islam”. Jadi, tidak semua barang bid’ah otomatis dhalalah (sesat) dan sayyi’ah (buruk), inilah landasan naqlinya mayoritas ulama mengakui adanya bid’ah hasanah. Yang bid’ah sayyi’ah jelas tidak boleh, yang bid’ah hasanah jelas boleh.
Lalu ada banyak sekali contoh yang bisa ditunjukkan lebih lanjut, baik semasa hidupnya Rasulullah saw. atau masa kemudian di kalangan para sahabat.
Tentang tata cara makmum masbuq dalam shalat berjamaah, misal, ada hadits shahih berikut ini:
Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah saw. bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat itu. Setelah Rasulullah saw. selesai shalat, Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Para sahabat melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka kepada Rasulullah saw. Lalu beliau saw. menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau saw. bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Rasulullah saw. tidak melarang “bid’ah” tata cara masbuq Mu’adz, tetapi malah membenarkannya. Dan inilah tata cara masbuq yang kini kita anut. Jadi, ini satu bukti bahwa bid’ah yang dilakukan Mu’adz dibenarkan oleh Rasulullah saw.
Dalam hadits shaih lain, Rifa’ah bin Rafi’ ra. berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi saw. Ketika beliau bangun dari rukuk, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih”. Setelah selesai shalat, beliau saw. bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau saw. bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Hadits tersebut kembali membuktikan bahwa bid’ah yang dilakukan salah sau sahabat Rasulullah saw. itu justru dibenarkan dan bahkan dijelaskan oleh beliau saw. sebagai diberkahi para malaikat pula.

Banyak sekali sebenarnya bukti-bukti sahih tentang betapa tak bisa disangkal bahwa bid’ah terbagi dalam dua kategori: hasanah dan sayyiah. Tidak semua bid’ah itu buruk, karenanya sesat, karenanya diganjar neraka. Tidak.
Anda pasti tahu, siapa gerangan yang menggagas penulisan Alqur’an? Abu Bakar. Lalu dilanjutkan oleh Umar bin Khattab dan kemudian terealisasikan di tangan Ustman bin Affan. Menuliskan Alqur’an tak dilakukan sama sekali di masa Rasulullah saw., sehingga itu terkategori bid’ah. Tetapi, bukankah itu bid’ah yang hasanah?
Perhatikan pula misal penambahan adzan pada Shalat Jum’at menjadi dua kali, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan baru dilakukan oleh Ustman bin Affan. Ustman menginisiasi adzan tambahan itu di pasar Zaura’ dalam maksud memberitahukan kepada penduduk Madinah yang semakin banyak dan luas agar bersegera menuju masjid untuk shalat Jum’at, agar ketika khatib telah duduk di mimbarnya, semua umat Islam sudah masuk masjid. Bila tidak ditambahkan adzan itu, niscaya akan banyak umat Islam yang tidak tahu bahwa shalat Jum’at telah akan dimulai.

Al-Sa’ib bin Yazid ra. berkata: “Pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).

Siapa pulakah yang berinisiatif menjadikan shalat Tarawih berjamaah? Di masa Nabi saw., shalat Tarawih kadang dilakukan kadang ditinggalkan. Lalu oleh Umar bin Khattab digagas shalat jamaah Tarawih. Umat Islam pun berkumpul untuk melaksanakan Tarawih secara berjamaah. Umar berkata, “Inilah sebaik-baiknya bid’ah.”
Dalam banyak kitab hadits juga diriwayatkan bahwa beberapa sahabat seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah ketika menunaikan ibadah haji secara berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi saw. Anas bin Malik dan Hasan al-Bashri juga menggaas shalat Qabliyah dan Ba’diyah dalam shalat Idul Fitri dan Idul Adha –yang tak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Dengan begitu banyaknya bukti dalil dan sejarah dari para sahabatrahimahumullah, Imam al-Syafi’i, mujtahid pendiri mazhab Syafi’i, mengatakan dalam Manaqib al-Syafi’i, (yang juga disetujui oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnyaMajmu’ Fatawa) bahwa “Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam,  pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi Alqur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah. Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Alqur’an, Sunnah, dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”.
Imam Hanbali, pendiri Mazhab Hanbali rahimahullah, juga menyertakaan doa khusus untuk Imam Syafi’i dalam setiap shalatnya. Tentu, bacaan khusus ini takkan pernah kita temukan dalam praktik shalat Rasulullah saw.
Berdasar uraian yang masih bisa dipanjangkan deretan buktinya tersebut, bagaimana kiranya kita masih saja membantah keras-keras bahwa segala bid’ah adalah sesat, maka harus dijauhi, agar kita tak terklaim bagian dari ahlun nar?
Memang, hal-hal ikhtilafiyah semacam hukum bid’ah ini sahih saja diikuti atau ditolak. Tetapi, nilai prinsipil yang semestinya selalu dijunjung dalam sebuah ikhtilafialah muru’ah, tawadhu’, adab, dan akhlak karimah. Jangan sampai kita yang berhasrat mengikuti pandangan ketat tentang hukum bid’ah lantas dengan gahar menyerang pihak lain yang membenarkan bid’ah hasanah, karena pastinya itu akan menjungkalkan ukhuwah islamiyah yang amat utama dalam Islam ke lembah-lembah pertikaian yang dibenci oleh-Nya dan Rasul-Nya. Jangan sampai kita menjadi orang yang sibuk merebutkan remah-remah roti sampai alpa pada lezatnya potongan roti besar di atas meja yang bisa kita nikmati bersama sambil tersenyum dan bercanda.
Pada derajat ini, perilaku sebagian kita yang menolak bid’ah memicu keprihatinan mendalam akibat kurang bijaknya memaklumi dan menyikapi keragaman ikhtilaf itu. Seperti klaim viral yang memilukan bahwa ziarah kubur, shalawatan, burdah, hadrah, tahlilan, Yasinan, bahkan pondok pesantren adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah dhalalah, dan semua dhalalah tempatnya di neraka.
Mari berdewasalah dalam berislam, bersaudara, bermanusia….
Jogja, 20 Maret 2016

Tag : Religi
1 Komentar untuk "PERIHAL BID’AH: BANTAHAN NAQLI DAN AQLI ATAS SIKAP ANTI BID’AH YANG BERLEBIHAN"

Sahabat, silakan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam Karya

Back To Top