Di
Alqur'an, ada ayat begini: yarfa'illahul ladzina amanu walladzina utul ilma
drajat.... (Allah akan menangkat derajat orang-orang
yang beriman dan berilmu....)
Gara-gara
maz ganteng nan genius Afthonul Afif,
semalam kami mendiskusikan wacana "kebenaran imperatif versus kebenaran
asosiatif". Ringkasnya, kebenaran imperatif itu ialah sebuah keyakinan
bahwa sesuatu itu benar dengan dilandaskan pada iman. Misal pada suatu hal yang
disebut oleh ayat Alqur'an. Hanya saja keyakinan ini dirasionalisasikan dengan
apapun pendekatan metodologis ilmiah sehingga menjadi lebih hunjam lagi nilai
kebenarannya diyakini.
Sumber Gambar |
Di
hadapannya, vis-a-vis, berdiri kebenaran asosiatif yang tidak berdasar pada
imperasi dalam hati (iman begitu) dan sepenuhnya berbingkai pada rasionalisasi.
Keduanya
sama-sama menerima nalar ilmiah; serangkaian metode akademik atau teoritik.
Apapun itu.
Sekalipun
sama rasionalnya, keduanya sama sekai berbeda dalam aspek nilai dan
orientasinya. Inilah yang sering saya sebut sebagai bedanya cendekiawan
religius dan sekuler.
Nilai:
rasionalisasi religius sepenuhnya berjuang menalar secara ilmiah sebuah hal demi
mengukuhkan kebenaran nilai yang diyakininya selama ini. Misal, bagaimana
penjelasan rasional ttg ayat disembelihnya Ismail oleh nabi Ibrahim as.;
bagaimana silaturrahim bekerja memperpanjang umur; dst. dlsb.
Jadi
secara nilai ia bersandar padanya, lalu dijelaskan secara rasional, sehingga
imannya bergerak maju bukan sekadar "ukhrawi, eskatologis, pokoknya
percaya", tetapi bisa lebih hunjam akar imannya sebab ditopang penjelasan
logis yang kian membuatnya takjub pada sakralitas ajaran tersebut. Di sinilah
orientasi ilmu itu bergerak menjadi penopang keimanannya.
Adapun
nalar asosiatif berusaha merasionalisasi sesuatu dalam penjelasan ilmiah
belaka; tidak ada tumpuan tansendental apapun di dalmnya, sehingga ia akan
terus-menerus melayang di ruang kosong. Persis, ia terus berwatak spekulatif.
Sebab tak ada impresi atau ultimasi di dalamnya. Sudah pasti, tak ada orientasi
apapun di sini, selain argumentasi nalar murni belaka. Paling banter, jikapun
ada, berpusar pada jagat manusia an sich. Begitu terus.
Misal.
Orang sekuler ketika menalar ttg makan di dini hari sepenuhnya menyebutnya
mengisi perut belaka untuk memenuhi kebutuhan alat cerna tubuh. Agar sehat.
Agar kuat. Begitu saja. Bagi cendekiawan religius, makan di masa yang sama yang
disebutnya sahur bukan cuma soal memenuhi alat cerna tubuh, tetapi untuk
berpuasa, sebuah ritual tansendental yang secara logis berfungsi melakukan
detok, penyehatan organ pencernaan, mengurangi mampatnya lemak jenuh di pembuluh
darah, dan sebagainya. Secara rasional ia bisa menjelaskan itu dengan baik,
secara nilai hal itu bermuatan spritual. Ada capaian humanistik dan spiritualistik
sekaligus.
Sungguhlah
beda pencapaian nalar kebenaran imperatif dan kebenaran asosiatif. Yang pertama
sudah jelas memiliki kelebihan nilai dibanding yang kedua. Antara yang
pasti-imperatif dengan yang asosiatif-relatif tentu saja tak pernah sama
pengaruhnya pada daya pikir dan perilaku seseorang.
Saya
sepenunya percaya secara rasional bahwa hidup ini memerlukan sakralisasi. Tanpa
itu, hidup ini hanyalah cabikan kapas yang dihempaskan angin ke angkasa. Tanpa
itu, manusia takkan memiliki orientasi hidup. Dan, percayalah, hidup yang tidak
memiliki orientasi adalah sekeping hidup yang amat tak layak.untuk ditempuhi.
Di
sinilah letak kekejaman modernisme memberantakkan sakralitas dengan melulu
mengarahkannya pada materialisme dan rasionalisme yang sungguhlah nisbi.
Dari
David Maybury-Lewis hingga Huston Smith telah jauh tahun mengingatkan kita
melalui ungkapannya: "Ironisnya, setelah kita menggali tradisi mistik
(spiritual, agama) dari arus utama kebudayaan dan menyatakannya tidak relevan
dengan zaman ini, kita semua merasa hampa tanpa kehadiran hal-hal yang
mistik."
Kita
bisa membaca "mistik" sebagai agama ataupun warisan tradisi kearifan
para leluhur.
Inilah
kiranya letak kebenaran ayat Allah di atas tentang pentingnya menjadikan diri
beriman dan sekaligus berilmu; yang dengan kedua pilar itu akan menghantr kita
selamat dari rongrongan materialisme-rasionalisme yang jelas-jelas hanya
menyurukkan hidup kita dalam kehampaan; yang lalu membawa kita ke level tinggi
kecerdasan yang menguatkan iman dan amal dalam hidup ini.
Adakah
yang lebih berharga untuk dperjuangkan dalam hidup kita selain ketenteraman
jiwa tersebut?
Baca juga: Yang Hilang dari Tradisi Keislaman kita.
Sumber: https://www.facebook.com/edi.akhiles/posts/1084460221579095?fref=nf
Tag :
Motivasi,
Serba-Serbi
0 Komentar untuk "NILAI (Kebenaran Imperatif dan Kebenaran Asosiatif)"
Sahabat, silakan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam Karya