ilustrasi gambar |
Segelas
racun babi mengepul di atas meja. Asap kretek melenggok dari mulut menuju
petromaks, membentuk gulungan hening. Abah Marta merapatkan handuk dari
sergapan dingin di leher dengan gigi gemerotak. Di balik jaket berkaos tebal
tersembunyi dada kering kerempeng mengatur desahan napas. Tersengal-sengal
karena penyakit asma. Terengah-engah menimbulkan bunyi mirip pompa air mekanik.
Mencengik. Mata keriputnya memicing, menatap Wardoyo menantunya yang tengah
mempermainkan asap. Ragu-ragu. Berganti-ganti dengan fokus gelas racun
menantang di meja. Suara dengkuran menembus gorden pintu di belakangnya; kamar
Ambu Marsinah tidur. Ada kemerosak angin. Ada kemerosak bambu-bambu bergesekan
di luar.
“Mulailah.”
Wardoyo berkata pendek. Menghisap asap kretek ke dadanya dalam-dalam. Ada
ketegangan merayap. Ada kegamangan mengalir. Abah Marta sekali lagi menatap
wajah menantunya. Kepala Wardoyo mengangguk. Setengah dipaksa setengah putus
asa, tangan Abah Marta maju meraih gelas. Racun hangat, manis bercampur kopi,
mengepul hangat dalam genggaman. Gemetar. Bibir tuanya gagal tersenyum. Tak
tega mata Wardoyo melambungkan ke langit-langit, melihat dua ekor cecak
berkejaran. Menunggu.
“Pahit!”
Abah Marta menghentakkan cangkir. Mengusap bibirnya cepat. Kemudian meludah,
getir. Setengah menit belralu, ia terhenyak. Wajahnya pucat. Panas
merajam-rajam perutnya tanpa ampun. Menyeruak ke atas, membetot-betot usus.
Lehernya tercekik: “Wardoyyy…” ia berteriak parau. Tubuhnya lantas menggeblag
jatuh. Sebelum kakinya menyepak meja dan kursi yang ia duduki terbalik.
Suaranya gaduh. Abah Marta berkelojot-kelojot sekarat. Matanya membeliak.
Kemudian sunyi. Mati.
***
BERPULUH
tahun Rantawi didera penyakit menakutkan. Jika hawa malam berubah dingin, maka
sesuatu menggodam dadanya telak. Gumpal kedua belah paru-parunya terasa
terhimpit beban berton-ton dan mencekik saluran udara menuju arah kerongkongan.
Di saat itulah dunia bagi Eantawi amat gelap dan sumpek. Satu-satu helaan napas
ia keluarkan dengan susah payah, menimbulkan bunyi cengik yang menjijikkan;
bahkan bagi telinganya sendiri. Barangkali jika bukan karena Ratri, anak perempuan
satu-satunya yang mengeluh putus asa, ia tak akan setega ini: membunuh diri
dengan segelas kopi bercampur racun babi. Memang Rantawi dengan kehidupannya
telah hancur luluh: dua hektare sawah, setengah bahu perkebungan kopi, satu
pabrik penggilingan padi telah lepas satu persatu dari tangannya untuk
pengobatan tanpa hasil. Tapi melintas pikiran untuk bunuh diri, tak pernah
sedikit pun terjangkau. Terlebih karena Rantawi selalu menyimpan ketahanan iman
dengan tak pernah lekang berdoa. Berharap satu kemukjizatanakan datang pada
suatu ketika.
Tapi malam
ini, Tuhan telah berlaku sangat tidak adil. Rantawi gamang atas kemauan Tuhan
pada dirinya. Keluarga Mayor Sulaiman mendadak memutuskan pertunangan sepihak
bagi anaknya, Ratri. Tentu, adalah pukulan batin teramat hebat karena mereka
justru menyalahkan penyakit yang Rantawi derita sebagai alasan pokok. Asma
disamaratakan dengan sejenis lepra! Mereka menuntut dikembalikannya harta
panjer yang diserahkan melalui upacara sukacita.”Mereka takut Ratri hanya akan menghancurkan
karier dan masa depan Kang Basuki,” begitu kata Ratri.Dengan tangisan
tersedak-sedak. “Seperti Bapak. Karena asma adalah penyakit keturunan.” “Begitu
yakin, apa mereka sudah memeriksamu?” “Mereka menolak. Juga Kang Basuki,”Ratri
putus asa. Tiga hari kemudian tak bisa ditanya. Ia hanya mengurung diri dalam
kamar. Rantawi marah. Amat marah. Sungguh nasib telah memain-mainkannya seperti
potongan gabus dalam amukan air deras. Tapi penegasan Keluarga Sulaiman memang
beralasan. Satu-satunya yang patut dipersalahkan pasti hanyalah Tuhan.
Begitulah ketika tangannya mantap menuangkan racun. “Kini, tak mungkin ada lagi
pemuda yang mau mendekati Ratri, Ayah!” Rantawi memandang meja tertegun-tegun.
Sejentik kegamangan menggelepar, tapi gumpal dendam menyumbatnya cepat. Irama
jantung berlomba dengan kesunyian.Ya, ya, tidak akan ada pemuda yang mau
menyunting ratri selama ia ada — begitu barangjali keinginan Ratri. Entah
karena keturunan, entah karena beban bahwa kenyataan Rantawi tak akan bisa lagi
hidup tanpa sebuah gantungan. Diseretnya langkah menuju kamar Ratri. Anak itu
tertidur dengan badan melungkar, penuh beban. Manik-manik keringat bermunculan
pada leher dan ujung kening; ia hampiri kemudian mengusapnya lembut. Seekor
nyamuk yang hinggap di betis dijentiknya hati-hati. Dirapatkannya selimut,
kemudian keluar. Kekosongan menyergap ketika air mata dari sudut matanya jatuh.
Segelas racun babi yang terdiam di meja. Rantawi melangkah ke kamar Ijah,
isterinya. Ijah dengan gurat ketuaan yang makin kentara. Tersenyum dalam
ketenangan mata terpejam. Begitu tabah. Bertahun-tahun wanita di hadapannya
harus bekerja sendiri menggarap sawah yang masih tersisa. Rantawi tak sanggup
lagi berpikir dan merasa. Langkahnya mantap. Meraup gelas. Menenggaknya dalam
satu tarikan napas… Putus asa. Gendang telinganya menangkap jerit tangis
meneluwung tak bertepi. Badannya terguncang-guncang. Suara-suara teriakan,
derit roda, suara-suara sepatu. Kemudian sepi. Senyap. Di manakah? Mungkinkah
Tuhan…
Satu
kejaiban terjadi: ia menangkap mata Ratri, mata isterinya, mata Basuki.
Kemudian badannya melambung ingin meraup. Sebuah tangan kokoh
menahannya.Rantawi harus beristirahat, lamat-lamat katanya. Aneh, ia merasa
betapa dadanya teramat lapang. Napasnya longgar tak tersumbat bunyi cengik
menjijikkan. Kepala dan tubuhnya ringan. “Dua hari engkau pingsan,” begitu kata
pertama ia dengar. Suara isterinya. Betulkah ia masih hidup? Rantawi ingin
berteriak, “Kenapa aku di sini? Betulkah kamu Ijah? Di manakah aku?””Asmamu
kumat,” isterinya menjelaskan. “Aku membawamu ke rumah sakit. Sudahlah Kang,
istirahat yang tenang. Kata dokter, asmamu kemungkinan besar sembuh. Entah
kenapa.” Tuhan maha adil, begitulah ketika Rantawi tersungkur dalam sujud.
Mohon ampun dan penyesalan atas sangka buruk. Tiga hari setelah berbaring di
Rumah Sakit dan dinyatakan sembuh total. Empat ekor kambing disembelih sebagai
rasa syukur, dan seluruh kampung turut menikmatinya. Juga tentu, Basuki.
Keluarga Mayor Sulaiman telah datang turut mengucapkan gembira dan minta maaf.
Tuhan maha besar.
***
SEHARI
setelah syukuran, Wardoyo ditangkap. Berita menjalar cepat dari mulut ke mulut.
Wardoyo membunuh Abah Marta dengan secangkir kopi dan racun babi! Pembunuhan
amat keji, begitu komentar mereka. Mayat Abah Marta ditemukan membiru. Visum
menyebutkan ususnya hancur membusuk. Orang-orang kampung mengutuk Wardoyo.
Melemparinya dengan batu: “Kafir! Mertuamu sendiri tega kau bunuh, heh?” ramai
berteriak. Riuh menggelandang Wardoyo, “Kau bunuh atas dasar apa, Wardoyo?”
“Rantawi. Demi Allah, Mang Rantawi yang menyuruhku…” Rantawi terbadai. Rantawi
hanya bisa mematung, tak mampu berbuat apa-apa. Teror datang menyerganya begitu
tiba-tiba. Sungguh ia begitu menyesal, amat menyesal telah menceritakan seluruh
rahasia kesembuhannya pada Wardoyo, adik iparnya. “Racun babi,” begitu ia
menceritakan dengan mantap: “Entahlah. Segala obat telah diupayakan; tapi
justru racun babi yang membikin aku sembuh. Heh, bukankah mertuamu menderita
asma sepertiku?” “Bagaimana kalau ia mati?” “Tuhan telah menunjukkan sebuah
keajaiban. Bahkan di dalam racun babi, bisa terdapat obat. Obat mujarab. Masih
tidak percayakah kamu, Wardoyo?” Dan kini ia sangsi. Diam-diam Rantawi merasa,
ia ikut bandil besar dalam pembunuhan Abah. Berhari-hari Rantawi tak sudi
makan. Sampai ketika polisi datang menjemputnya untuk ditanyai: “Demi Allah,
saya tidak berkomplot untuk membunuhnya!” katanya.Keras. Dan tubuh Rantawi
digelandang hina. Riuh hantaman puluhan caci; orang-orang kampung bergimbung.
Menuding berteriak. Kelebat bayangan Ratri ambruk. Lalu Ijah? Bergetar.
Keringat dingin memercik. Gusti Allah… bayangan yang buruk. Ia seperti melihat
betapa Tuhan kini tengah bergitung; menjawab tantangannya ketika ia memilih
mati bunuh diri. Benarkah tak ada dosa yang tak diperhitungkan? Dan kini
Rantawi dipaksa menggigil, tersentak berteriak: “Alangkah lebih terhormat mati
ketimbang terhina di penjara…”
Bandung,
1993
Dimuat di Lampung post
Tag :
Cerpen
0 Komentar untuk "Cerpen Joni Ariadinata: Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri?"
Sahabat, silakan tulis komentar yang membangun, gunakan bahasa yang baik dan sopan. Mari berbagi dalam kebaikan.
Salam Karya